Nasi Teri Gejayan Pak Dul, kuliner malam legendaris Jogja 90-an
Diperbarui 3 Jul 2019, 13:32 WIB
Diterbitkan 30 Jun 2019, 13:00 WIB
Brilio.net - Menjelang tengah malam, jalanan Kota Jogja masih tampak ramai pengendara melintas, salah satunya di daerah Gejayan. Ya, daerah ini menjadi salah satu area ramai karena lokasinya yang sangat strategis. Tak jauh dari pusat kota, dan juga sangat dekat dengan kampus-kampus ternama.
Saat dini hari menjelang, daerah Gejayan dikenal akan surga kuliner pedas tengah malam. Salah satu yang paling populer adalah lapak nasi teri. Karena merasa penasaran, brilio.net mencoba mengunjungi tempat tersebut. Rupanya di sana, seorang wanita berkacamata dan mengenakan hijab berwarna biru telah menyambut dengan baik. Ia tak lain adalah Subagiya, istri pemilik warung makan tersebut.
-
Nasi Langgi Pak Man, kuliner malam legendaris Jogja sejak 1988 Kini sudah mempunyai tiga cabang dan biasanya 500-700 porsi habis dalam satu hari
-
Kisah sukses warung ayam geprek pertama di Jogja, gara-gara pesanan sepele dan bingung menamai menu Ruminah merintis jualan ayam geprek sejak 2003 bermula dari pesanan makanan seorang mahasiswa, tanpa tahu nama menunya apa.
-
9 Tempat makan nasi pecel hits di Yogyakarta, wajib coba Deretan tempat makan nasi pecel di Yogyakarta terkenal legendaris.
foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha
"Saya telah tinggal di sini sejak tahun 90," ujar Subagiya memulai percakapan. Wanita memakai daster berwarna biru itu menceritakan bahwa ia menikah dengan putra tunggal Pak Dul, Pak Mujiwaluyo yang tak lain pemilik warung. Subagiya menceritakan dirinya dan sang suami merupakan generasi kedua yang berjualan nasi teri ini.
Mulanya, kedua mertuanya telah berjualan sejak tahun 70-an. Setelah kurang lebih 20 tahun lebih berjualan, karena faktor usia, ia dan suaminya yang akrab disapa Pak Yo menawarkan kepada orangtuanya agar bisa menjadi penerus usaha keluarga tersebut.
foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha
"Udah istirahat pak, buk. Biar saya yang jualan," tutur Pak Yo pada orangtuanya.
Pada April 1992, Subagiya dan Yo memulai meneruskan berjualan nasi teri, namun kedua mertuanya masih ikut menemani. Tak disangka, peminat nasi teri pak Dul semakin meningkat. Awalnya, warung nasi pak Dul berlokasi di Pasar Demangan.
Namun namanya juga berbisnis, tak selamanya berjalan mulus. Lapak Pak Dul diminta untuk pindah berkali-kali oleh Satpol PP. Akibatnya Pak Dul lebih dari tiga kali pindah tempat.
"Sama yang punya rumah ini, 'Pak Dul udah jualan di sini aja. Saya dulu dapat amanah dari ibu, kapan-kapan nggak tahu pak Dul atau cucu, atau anaknya dikasih tempat kasihan," sambung Subagiya menirukan obrolannya dahulu.
foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha
Sejak awal berjualan hingga saat ini, keduanya masih menyajikan menu yang sama seperti dahulu. Menu-menu yang jadi andalan di tempat ini adalah teri dan sayurnya. Oleh sebab itu, tempat makan ini dijuluki 'nasi teri' oleh kebanyakan orang. Menariknya, semua masakan dimasak memakai cara tradisional, yaitu tungku (arang) tidak menggunakan kompor.
"Dalam satu hari (masak) paling (teri) 2 kg, cabe merah, cabe rawit 5 kg. Nggak tahu mahal, nggak tahu murah. Beras 25-30 kg," tuturnya.
Pertamanya, menu teri merupakan masakan yang gemar dibuat ibu mertuanya. Pasalnya istri Pak Dul tersebut merupakan orang asli Kediri, Jawa Timur.
"Kok gudeg terus. Bikin sayur wae karo teri. Terine dipedesi," sambungnya menceritakan awal mula resep teri itu dari ibu mertuanya.
foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha
Dalam satu porsinya, nasi teri Pak Dul terbilang cukup murah. Para pengunjung yang memesan menu nasi teri campur hanya dipatok Rp 8 ribu saja.
"Pertama kali aku jualan harganya Rp 150, udah pake telur, tahu, tambah es teh Rp 300. Terus Rp 2.000, terus Rp 4.500, naik Rp 6.000, sekarang Rp 8.000," ceritanya kepada brilio.net saat di depan kediamannya.
Untuk diketahui, hingga saat ini Subagiya dan Yo tidak memasang banner atau tanda apapun saat berjualan, hanya sekadar tenda berwarna biru. Bahkan di pencarian mesin internet, nama warungnya cukup banyak, seperti 'warung teri pojok Gejayan', 'nasi teri pak Dul', atau 'nasi teri pak Yo'. Diakui wanita 54 tahun ini, dia tak mempermasalahkan nama tersebut.
Setiap harinya, Subagiya dan Yo mulai membuka warung pukul 21.00 sampai 04.00 WIB. "Katanya kalau belum ke sini, belum ke Jogja," ujarnya sambil tertawa.
foto: Brilio.net/Ivanovich Aldino
Karena terlalu banyak peminatnya, banyak orang yang berprasangka buruk pada warung Pak Dul. Mulai dari yang menyangka mengenakan pelaris. Mendengar kalimat itu, Subagiya langsung memberikan jawaban bijak.
"Saya ini jualan bukan dua tahun, setahun. Paling kalau ayahmu kuliah di sini paling juga makan di sini. Ini tuh turunan, saya generasi kedua. Bapak sama ibu mertua (jualan) dari anaknya masih kelas 3 SD," ujarnya.
Saking ramainya, pelanggan yang datang tak sedikit pula yang memilih duduk di depan ruko-ruko di sebelahnya. Menurut ibu dua anak ini, semula bermula dari pengunjung yang meminta untuk duduk di sana, dan lalu jadi kebiasaan. Akan tetapi, pihak ruko sempat mengirimkan 'peringatan' kepadanya.
"Di kasih memo, mau tak pager. Tapi udah berapa tahun nggak dipager-pager. Diperingati 2 kali 3 kali, monggo,"
Bagi kebanyakan orang, kesan pertama mencicipi nasi teri terdapat pada rasa pedas yang disajikannya. Di mana orang-orang yang tidak terlalu menyukai makanan cita rasa manis beralih ke sini. Tertarik mencoba kuliner yang sangat terkenal di Jogja saat malam ini?
Selengkapnya:
(brl/guf)
FOODPEDIA
Video
Selengkapnya-
Jalan Makan Shiki, resto sukiyaki bergaya kansai daging disajikan dengan permen kapas
-
Jalan Makan Kari Lam, jualan sejak 1973 membawa rasa nostalgia
-
Jalan Makan Sroto Eling-Eling, gurihnya kuah dan melimpahnya daging kuliner Banyumas