Romantisme kesetiaan kakek-nenek 70 tahun di balik eksistensi roti kembang waru warisan Mataram Islam
Diperbarui 14 Sep 2023, 18:08 WIB
Diterbitkan 15 Sep 2023, 09:00 WIB
Romantisme Pak Bas dan Bu Gidah melestarikan roti kembang waru.
Sejak 40 tahun lalu, Pak Bas dan Bu Gidah membuat dagangan roti kembang waru ini hanya berdua. Kesetiaan suami-istri merajut bahtera rumah tangga yang harmonis sembari konsisten menjalankan bisnis roti kembang waru ini, sudah pasti dapat dijadikan inspirasi buat siapa pun.
Rahasia romantisme Pak Bas dan Bu Gidah sembari menjalankan bisnis roti kembang waru, rupanya didapat dari komunikasi serta kerjasama yang selalu baik, sehingga tak pernah mengalami kendala berarti sejak puluhan tahun silam. Pak Bas pun menuturkan, menjalani kehidupan berumah tangga, apalagi sambil berbisnis, kuncinya harus dinikmati.
-
Roti kembang waru, kudapan Raja Mataram Islam yang tetap eksis Pada saat masa Kerajaan Islam, roti kembang waru disuguhkan untuk perayaan hari-hari penting ataupun hajatan.
-
Kisah dibalik makanan legendaris Yogyakarta, Jadah Tempe Mbah Carik suguhan favorit Sultan Di balik nama Jadah Tempe Mbah Carik ini tak lepas dari ide istri Sultan Hamengkubuwana IX, Kanjeng Ratu Ayu Hastungkara.
-
Nikmatnya soto batok, apalagi berada di tengah sawah, sedaaap! Soto memakai wadah batok, mungkin bisa menjadi alternatif makanmu.
"Orang yang bahagia itu orang yang bisa menikmati hidupnya," ungkap Pak Bas.
foto: brilio.net/shahfara
Menjaga kualitas roti kembang waru dari rumah.
Pak Bas menegaskan, ia dan sang istri tak memilih menitipkan dagangan rotinya ke warung-warung. Bukan tanpa alasan, tapi mereka ingin menjaga kualitas roti kembang waru agar kondisinya tetap baik dan fresh hingga mendarat ke tangan konsumen. Hal ini pun menjadi daya tarik roti kembang waru, agar bisa mendapat banyak konsumen dari berbagai daerah lain di luar Yogyakarta, seperti Bandung, Jakarta, Semarang, Bogor, Surabaya, Bangka, atau bahkan mancanegara.
Pak Bas dan Bu Gidah biasa membuka bisnisnya mulai jam 8 pagi hingga 8 malam. Tetapi, jika ada pelanggan yang membutuhkan roti kembang waru di luar waktu tersebut, mereka mengaku siap melayani. Sesekali, Pak Bas dan Bu Gidah pun kedatangan pembeli saat masih pagi buta, baik jam 3 maupun 4 pagi.
foto: brilio.net/shahfara
Saking legendarisnya roti ini, Pak Bas dan Bu Gidah juga mempunyai banyak pelanggan setia yang rutin membeli dagangannya. Salah satunya ada Darwanto, salah seorang abdi dalem atau pegawai di Kraton Jogja.
Pria ini mengaku hampir setiap hari datang ke tempat Pak Bas dan Bu Gidah untuk membeli beberapa bungkus roti kembang waru. Selain karena senang dengan cita rasa roti kembang waru, ia mengaku bangga lantaran masih ada camilan yang lekat dengan catatan sejarah kerajaan Mataram Islam di Jogja.
"Ciri khas Mataram ini, roti seng asli Kotagede yo iki (Ciri khas Mataram ini, roti yang asli Kotagede ya ini)," ujarnya sembari terkekeh.
Setia menggunakan peralatan tradisional selama puluhan tahun.
Sedari awal memutuskan menjual roti kembang waru hingga sekarang, Pak Bas dan Bu Gidah sepakat tetap setia menggunakan alat masak tradisional, lho. Alih-alih menggunakan oven listrik maupun tangkring, roti kembang waru masih dipanggang dengan bahan bakar arang di atas tungku besi dan batu bata.
Proses pembuatan roti kembang waru yang masih sangat klasik ini dipercaya menghasilkan cita rasa roti yang autentik. Di sisi lain, banyak pula pembeli yang doyan menonton proses pembuatannya yang berbeda dari yang lain, apalagi di kalangan turis asing.
Selain itu, Bu Gidah pun mengaku lebih senang membuat roti kembang waru dengan alat tradisional karena tak terbiasa mengaplikasikan oven yang lebih modern.
"Saya suka pakai arang, soalnya takut (kalau pakai oven)," ujar wanita 71 tahun ini sambil mengatur letak loyang berisi adonan roti kembang waru buatannya.
foto: brilio.net/shahfara
Biasanya, Pak Bas serta Bu Gidah dapat membuat 15 sampai 30 adonan roti kembang waru setiap kloter memanggang. Sementara jika dijumlahkan dalam sehari, mereka bisa membuat 75 hingga 105 loyang roti kembang waru. Namun, jumlah ini dapat berubah sewaktu-waktu sesuai kebutuhan pelanggan.
Selain itu, ada kalanya adonan roti kembang waru yang sedang dipanggang oleh Pak Bas dan Bu Gidah gosong, lho. Pasalnya, proses memanggang dengan alat tradisional ini membutuhkan fokus cenderung tinggi karena suhu panasnya tak bisa diatur secara manual seperti oven modern.
foto: brilio.net/shahfara
Keberlanjutan bisnis roti kembang waru Pak Bas dan Bu Gidah.
Roti kembang waru yang dijual oleh Pak Bas dan Bu Gidah diketahui sudah tak menggunakan resep yang sama persis dengan buatan nenek moyang. Tetapi, meskipun beda resep, Pak Bas dan Bu Gidah selalu berusaha menghasilkan cita rasa roti agar tetap sama dengan aslinya.
Jika dulunya adonan roti kembang waru masih dibuat dari tepung ketan dan telur ayam kampung, sekarang roti ini memanfaatkan tepung terigu dan telur ayam biasa. Roti kembang waru identik dengan tekstur yang cukup padat serta rasa sedikit manis. Dari kombinasi tekstur dan rasa roti kembang waru, tampaknya camilan ini cocok disantap bareng minuman hangat baik susu, teh, ataupun kopi. Hidangan ini juga beraroma nikmat, terutama saat baru keluar dari panggangan yang bikin perut seketika lapar saat menghirup wanginya.
Resep roti kembang waru juga dipelajari oleh sang anak. Pak Bas dan Bu Gidah diketahui punya dua anak laki-laki, yang satu menggeluti bidang seni, sementara satu lagi memilih terjun ke bisnis roti kembang waru seperti orang tuanya.
Bisnis roti kembang waru milik anak Pak Bas dan Bu Gidah diketahui menerapkan cara pembuatan yang lebih modern, yakni oven listrik. Di samping itu, sang anak juga menjual roti kembang waru di warung-warung, bukan hanya dari rumah seperti Pak Bas dan Bu Gidah.
foto: brilio.net/shahfara
Tetap pertahankan roti kembang waru meski menghadapi pasang-surut bisnis kuliner.
Seperti kebanyakan bisnis kuliner lain, Pak Bas dan Bu Gidah juga harus tutup sementara saat pandemi Covid-19 pada 2020 lalu, selama kurang lebih 3 tahun. Saat libur berjualan, Bu Gidah mengaku masih bisa bersyukur karena ada pihak-pihak di kampung sekitar rumahnya yang selalu membagikan bahan makanan setiap pagi dan sore.
"Glundang-glundung (tidak ada kerjaan) aja, mbak," cetus Bu Gidah disusul gelak tawanya yang renyah.
Usai aktivitas perekonomian normal pasca pandemi, roti kembang waru akhirnya mulai aktif lagi di 2022 lalu dan tak mendapat kesulitan mencari pelanggan meskipun bisnis ini sempat tutup cukup lama.
foto: brilio.net/shahfara
Soal keuntungan yang didapat dari penjualan roti kembang waru, Pak Bas dan Bu Gidah mengaku selalu dapat untung yang berbeda-beda setiap bulannya. Namun, jika sedang kedatangan banyak pelanggan, mereka bisa menjual sampai 500 bungkus roti kembang waru dalam sehari, lho.
"Yang penting keperluan rumah tangga cukup, wes," kata Pak Bas.
(brl/tin)RECOMMENDED ARTICLES
- Kisah dibalik makanan legendaris Yogyakarta, Jadah Tempe Mbah Carik suguhan favorit Sultan
- Legendaris! Mie kopyok Mbah Wahji, kuliner mie yang yang sudah mulai langka
- Mencicipi kesegaran es kacang hijau legendaris Jogja, tempat jajannya Rano Karno
- Kipo, makanan khas Yogyakarta yang disukai sejak zaman Sultan Agung hingga kaum milenial
- Mengenal Kicak, kuliner unik khas kampung Kauman yang hanya ada saat Ramadhan
FOODPEDIA
Video
Selengkapnya-
Jalan Makan Shiki, resto sukiyaki bergaya kansai daging disajikan dengan permen kapas
-
Jalan Makan Kari Lam, jualan sejak 1973 membawa rasa nostalgia
-
Jalan Makan Sroto Eling-Eling, gurihnya kuah dan melimpahnya daging kuliner Banyumas