Untuk kamu pecinta kuliner, jangan sampai ketinggalan varian gudeg yang satu ini. Gudeg salak ala Pawon Pariyem.
Kalau biasanya gudeg yang kamu kenal terbuat dari bahan dasar nangka muda atau manggar, kali ini salak menjadi alternatif lain. Gudeg salak ini sebenarnya sama seperti gudeg pada umumnya. Akan tetapi perbedaan yang mendasar terdapat pada proses pembuatan dan bahan baku yang digunakan.
Soal cita rasa? Jangan ditanyakan, pastinya maknyus dan lezat. Cita rasa gudek salak ini adalah kolaborasi ciamik antara manis dan sedikit asam yang berasal dari salak. Sebagai lauk pelengkapnya, menu ini dapat disandingkan dengan sambal krecek, telur, dan suwiran ayam.
foto: brilio.net/Farika Maula
Gudeg salak Pawon Pariyem di Pedukuhan Kadisobo II, Desa Trimulyo, Kecamatan Sleman ini memiliki sejarah yang panjang. Tempat wisata kuliner ini dikelola kerja sama antara Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Pengelola Desa Wisata Kadisobo. Anggaran untuk membangun tempat makan tersebut mencapai Rp 150 juta.
Pengelola Desa Wisata yang sekaligus merangkap Dukuh Kadisobo II, Mawaradi, menceritakan bahwa keberadaaan gudeg salak berawal dari kegelisahannya pada 2007 tentang produksi salak yang terus menurun. Harga jual salak sangat rendah, sehingga petani salak banyak yang membabat pohonnya dan mengekspor bibitnya ke luar daerah. "Melihat fenomena perkebunan salak kita ini, petani sudah tidak greget lagi untuk mengelola salak," ujarnya.
Atas kegelisahan tersebut, Mawaradi menggerakkan ibu-ibu di Pedukuhan Kadisobo II untuk membuat inovasi baru dengan bahan dasar salak. Berbagai jenis olahan dibuat, seperti bakpia salak, minuman salak, makanan ringan dengan bahan dasar salak, hingga pada makanan berat, gudek salak.
foto: brilio.net
"Perkebunan salak yang masih ada, kita lestarikan dengan menggerakkan ibu-ibu untuk mengikuti pelatihan agar bisa mengolah dan mengelola salak agar bisa menambah nilai ekonomi warga," imbuhnya.
Gudek salak khas Kadisobo ini pertama kali dikenalkan dan diujicobakan pada saat Festival Desa Wisata 2017 yang menitikberatkan pada kerajinan dan kuliner. Saat itu, Mawaradi mengaku mendapat apresiasi juri karena cita rasa gudeg salak yang unik dapat dijadikan ikon baru kuliner Yogyakarta.
Semua bahan yang digunakan sama seperti membuat gudeg pada umumnya, termasuk penggunaan daun jati untuk mengeluarkan warna asli kecoklatan, khas gudeg. "Perbedaannya itu cuma pada pengolahan salaknya. Kita rendam dulu pakai air kapur agar daging salaknya empuk, keset dan mudah untuk dikonsumsi,"ujarya.
Untuk mencukupi kebutuhan bahan baku gudeg, Mawaradi mengambil salak dari hasil petani Kadisobo II. Sehingga petani salak yang tinggal di daerah tersebut mempunyai semangat untuk bertani salak. "Kami beli dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga yang dijual di pasaran," jawabnya.
foto: brilio.net/Farika Maula
Soal omzet yang didapatkan dari Pawon Pariyem, Mawaradi belum menetapkan target khusus. Saat ini ia masih dalam proses sosialisasi dan memperbaiki fasilitas yang dinilai kurang agar pengunjung nyaman. "Saya belum menetapkan target khusus dalam setiap bulannya, tapi setiap hari saya mematok 20 piring gudeg salak," pungkas Mawardi.
Soal pemilihan nama Pawon Pariyem, ia mengaku terinspirasi dari karya penyair idolanya, Linus Suryadi asal Wonosari, Gunungkidul. Salah satu karya Linus yang terkenal adalah prosa berjudul Pengakuan Pariyem.
foto: brilio.net/Farika Maula
Nah, untuk kamu yang penasaran dengan rasanya, gudeg salak ini dibanderol dengan harga Rp 23 ribu untuk satu porsi. Selain gudeg salak, ada salah satu minuman yang diunggulkan di Desa ini, yaitu jaserlak (jahe, sereh, salak).
foto: brilio.net/Farika Maula
Soal suasana? Jangan ditanya deh. Untuk kamu yang merindukan suasana asli desa, suara burung, suara katak, bahkan gemericikk air dan suara alam lainnya, bisa kamu dapatkan di Pawon Pariyem.