Brilio.net - Makanan bukan sekadar pemuas perut semata. Ada seni yang menyertai agar penyajiannya sedap dipandang mata. Makanan yang menarik indra penglihatan pasti menggugah selera Sobat Brilio segera menyantapnya, kan? Atau malah sayang hendak mencicipinya lantaran bentuknya terlalu cantik? Coba lihat menu Persimmon Smoothie karya Chef Chondro, food stylist asli Jogja berikut.
-
Resep persimmon smoothie bowl, makin estetis dengan edible flower Smoothie kesemek ala Chef Chondro ini bisa kamu praktikkan sendiri di rumah.
-
Aman dikonsumsi, 8 jenis bunga ini bisa jadi pewarna alami makanan Nggak hanya dimanfaatkan sarinya, beberapa jenis bunga juga aman dikonsumsi secara utuh.
-
7 Resep camilan dari terong ala rumahan, enak dan sederhana Terong memiliki tekstur daging lembut dengan rasa khas.
Ada bunga di atas Persimmon Smoothie, membuat tampilannya menarik mata. Sobat Brilio penasaran nggak sih, kok bisa bunga ditaruh di makanan? Bisa dimakan? Bunga-bunga inilah yang dimaksud dengan edible flower, alias bunga yang bisa dikonsumsi.
Di Indonesia, pamor edible flower belum terlalu bersinar meski sebenarnya ada beberapa jenis bunga yang familiar di masyarakat. Misalnya bunga telang yang dijadikan pewarna alami makanan, rosela dijadikan teh herbal, melati diproses menjadi teh, hingga kembang turi yang kerap jadi sayur dalam menu pecel. Namun di luar negeri, begitu banyak jenis edible flower yang dijadikan 'pemanis' aneka hidangan kuliner.
Ya, edible flower banyak macamnya. Ada yang bisa langsung dikonsumsi dalam bentuk fresh cut (setelah dipetik), ada pula yang butuh pengolahan terlebih dahulu. Edible flower digolongkan pula berdasarkan rasa, seperti manis, tawar, pahit, hingga pedas. Nah, nantinya edible flower dengan rasa tertentu bisa dijadikan garnish (penghias hidangan) menyesuaikan rasa makanan.
"Ada beberapa edible flower itu rasanya pedas, asam, plain (tawar), dan lain-lain. Jadinya untuk diaplikasikan ke apa pun itu bisa. Tapi untuk yang rasanya agak pedas atau pahit, nggak bisa dikasih ke makanan manis seperti dessert, kemungkinan masuk ke main course (makanan utama), appetizer (makanan pembuka)," papar Chef Chondro kepada Brilio.net via sambungan telepon belum lama ini.
Chef 32 tahun itu menambahkan, untuk edible flower rasa plain rata-rata bisa dikombinasikan dengan banyak rasa makanan, termasuk dessert. Jenis bunga yang masuk rasa plain ini misalnya viola.
Sentuhan cantik edible flower pada makanan membuat Chef Chondro menekuni pengembangbiakannya. Dimulai saat masih menjadi chef di sebuah hotel pada empat sampai lima tahun lalu, Chef Chondro memelajari edible flower yang lebih dulu ngetren di luar negeri.
"Awalnya kita coba-coba dulu nanem sendiri. Baru dikomersilkan sekitar tahun 2018 kemarin," tutur chef yang akhirnya menjadi wirausahawan kuliner dua tahun belakangan itu. Salah satu usahanya adalah Edible Flower Jogja.
Sebagai pemain pertama usaha edible flower berkualitas di Jogja, Chef Chondro dan tim memasarkan setidaknya 10-15 jenis edible flower ke berbagai daerah. Beberapa di antaranya pansy, viola, dianthus, dan nasturtium. Pasokannya dikirim ke jaringan hotel, restoran, hingga industri rumahan di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, juga luar Jawa seperti Kalimantan, Sulawesi, Batam, dan Sumatera.
Untuk area Jawa, Chef Chondro bisa mengirimkan fresh cut edible flower lewat ekspedisi khusus makanan yang bisa mengantar keesokan harinya tiba. Sekitar satu sampai dua hari sekali, Chef Chondro dan tim Edible Flower Jogja bisa panen bunga. Pengirimannya bisa nyaris setiap hari, menyesuaikan permintaan konsumen. Sementara untuk ke luar Pulau Jawa, dikirim dalam bentuk siap konsumsi yang diolah lewat proses kristalisasi. Hal ini mengingat daya tahan fresh cut edible flower hanya 3-5 hari.
Kristalisasi edible flower menggunakan gula menjadi salah satu kreativitas tim Chef Chondro mengatasi kelebihan produksi. Tujuannya agar bunga tetap memiliki nilai jual. Chef Chondro memilih bunga-bunga rasa plain untuk dikristalisasi. Dengan proses ini, edible flower bisa lebih awet dan memiliki rasa manis saat dikonsumsi.
"Kristalisasi lebih masuk ke pastry product. Jadi seperti cake, kue, cokelat, dan lain-lain itu 'masuk'," imbuh chef yang sudah berkecimpung di dunia kuliner secara profesional selama 13 tahun itu.
Tantangan pengembangbiakan edible flower.
Menurut kacamata Chef Chondro, celah pangsa pasar edible flower masih lumayan besar. Pemainnya belum banyak di Indonesia. Sejauh ini pemainnya baru di Bandung, kemudian Jogja yang dipelopori Chef Chondro.
Lebih-lebih saat pandemi sekarang ini, ketika permintaan hotel belum seperti semula, usaha edible flower Chef Chondro tetap mengalir ke industri rumahan yang dijalankan ibu-ibu rumah tangga. Mereka rutin membuat pudding, salad, dan sebagainya untuk dijual.
Meski demikian, pengembangbiakan edible flower diakui Chef Chondro butuh usaha ekstra.
"Memang ada beberapa (jenis edible flower) yang gampang. Tapi untuk jenis-jenis yang impor itu susah, treatmentnya beda. Jadi, memang harus intensif untuk perawatannya. Kita juga menggunakan bukan sembarangan pupuk. Harus pupuk kandang, pupuk organik," jelas Chef Chondro.
Pendiri konsultan kuliner Sae Culinary Art Jogja itu melanjutkan, awal yang sulit dalam pengembangbiakan edible flower adalah pembibitan. Tidak semua penyemaian benih edible flower bisa hidup. Penanamannya pun harus memperhatikan beberapa hal.
"Penanamannya harus di dataran tinggi, tempat yang sejuk. Pengelolaan lahan ditutup dengan kain strimin halus, seperti kelambu, untuk mencegah hama-hama masuk," sambung chef yang menjalankan pengembangbiakan edible flower di kawasan Kaliurang itu.
Kuliner jadi ladang mewujudkan kreasi, berbisnis, dan berbagi ilmu.
Produksi Edible Flower Jogja bukan hanya dijual, melainkan juga dijadikan produk hidangan yang dibuat Chef Chondro sendiri. Sebagai chef yang fokus pada seni makanan, dia menggunakan edible flower untuk mempercantik makanan kreasinya.
"Saya konsen ke makanan tradisional yang di-upgrade atau Indonesian fusion food (inovasi kuliner), jadi garnishnya saya kasih edible flower biar lebih 'ngangkat' tampilannya," kata Chef Chondro.
Ke depannya, Chef Chondro memproyeksikan Edible Flower Jogja berkembang dengan konsep yang mengintegrasikan beberapa hal.
"Planningnya konsep resto casual dining, bukan fine dining. Ya, kayak ada kopi, light meal. Itu semua nanti platingnya pakai edible flower, ada tamannya, ada tempat edukasinya, tempat pelatihan, pengennya seperti itu," tandas Chef Chondro memungkasi percakapan dengan Brilio.net.
Selain aktif membuat hidangan yang diberi sentuhan edible flower, Chef Chondro juga berbisnis serta membagikan ilmu lewat Sae Culinary Art Jogja. Konsultan kuliner ini menyediakan jasa fotografi makanan, pelatihan, hingga edukasi. Jika sebelum pandemi kerap mengadakan pelatihan tatap langsung, kini Chef Chondro berbagi ilmu lewat webinar. Edukasi yang diberikan biasanya meliputi kebersihan, resep, teknik masak, hingga seni makanan. Sobat Brilio berminat belajar dari Chef Chondro? Atau justru ingin mencicipi edible flower dari Edible Flower Jogja? Jangan ragu kepo ke Instagram Edible Flower Jogja dan Sae Culinary Art Jogja, ya.