Brilio.net - Terik panas matahari tak membuat semangat wanita paruh baya itu mengayuh sepeda. Dengan topi capingnya seolah ia tak menyerah menantang terik siang hari. Saat waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 WIB, perlahan ia mulai mengayuh sepedanya keluar dari rumah menuju pojok SPBU, dekat UNS (Universitas Negeri Surakarta) Solo. Wanita kelahiran Purwodadi itu bernama Wulandari. Sepeda onthel Jawa yang selama ini menemaninya itu berisi keronjot tengkleng kambing.
Sudah lama ia berjualan tengkleng di tempat kelahiran sang suami. Sekitar tahun di mana Presiden Ke-3 Republik Indonesia Soeharto lengser, Wulandari sudah berjualan selama lima tahun. Kalau dihitung-hitung, sekitar 1993 dia sudah mulai berjualan tengkleng dengan nama 'Tengkleng Mbok Wulan' itu. Di masa lalunya, saat ia belum mampu membeli sepeda onthel, Wulandari berjualan dengan jalan kaki.
Dirinya sudah biasa menjajakan tengklengnya dengan membopong tenggok. Langkah demi langkah ia lalui sembari berteriak mempromosikan dagangannya tersebut.
"Keliling gendong tenggok gitu. Nanti nyangking tas," tutur Wulandari kepada brilio.net saat ditemui beberapa waktu lalu.
Namun mulai Februari 2019, ia memantapkan hati hanya menetap di satu spot saja. Kendati tak lagi berkeliling, nyatanya para pelanggan justru datang menghampirinya.
"Udah capek (keliling). Di sini sudah alhamdulillah dapat berkah. Sedikit-sedikit banyak yang nyari sekarang," jelasnya.
foto: Brilio.net/Ivanovich Aldino
-
Cerita Mbah Dongkrak: Pembeli burgernya pernah tiba-tiba menghilang Setelah membayar wanita itu tiba-tiba hilang entah ke mana. Padahal itu di daerah persawahan dan tidak ada rumah penduduk.
-
Cerita haru ibu-ibu buruh gendong di Pasar Beringharjo Usia rata-rata di atas 50 tahun tapi masih kuat membawa barang hingga 70 kg.
-
Lestarikan jajanan khas, 20 tahun Mbah Sumiyati jualan jenang gendhul Jualan di Pasar Beringharjo, Selalu diburu pembeli.
Wulandari sedikit mengenang masa awal saat ia berjualan tengkleng jalan kaki dengan membopong tenggoknya. Dia pun berbagi cerita perbedaan dulu dan sekarang.
"Kalau dulu masih keliling gendong balungan cuman 2 kilo, kepala 1 kilo, jeroan 2 kilo. Sekarang babat 4-5 kilo, balungan 7 kilo, kepala 3 kilo," tutur Wulandari.
Banyaknya konsumen yang datang, ternyata dari berbagai kalangan. Kelas ekonomi bawah, menengah, hingga atas yang tampak berkendara mobil datang mencarinya. Selain uniknya cara berdagang tengkleng menggunakan sepeda, harga yang ditawarkan Wulandari cukup mencuri perhatian. Dia mematok harga yang relatif murah meriah. Nggak bikin kantong jebol untuk ukuran harga daging kambing.
Harga tengkleng kambing dibagi menjadi tiga. Adapun rincian harganya Rp 10 ribu untuk ukuran babat, Rp 15 ribu untuk daging, dan Rp 20 ribu untuk bagian kepala seperti lidah dan mata. Dia memberikan nasi gratis selama persediaan masih ada. Kalau habis, semua kira-kira total bisa 30 porsi.
foto: Brilio.net/Ivanovich Aldino
"Kadang-kadang sampai jam 5 (sore) habis. Kadang-kadang ya sampai jam setengah tiga (sore). Nggak tentu namanya jualan di pinggir jalan," katanya.
Setiap hari, hingga sekarang terhitung sudah sekitar 26 tahun ia terlihat berjualan sendiri. Usut punya usut, selama ini Wulandari dan suami berbagi tugas. Sang suami mengurusi segala kebutuhan sebelum berdagang seperti berbelanja ke pasar. Sedangkan Wulandari yang bertugas berjualan.
Sayangnya, suami yang teramat ia cintai itu telah tiada pada 2011 silam. Kini ia menjadi tulang punggung keluarga besarnya. Total semua anak Wulandari ada 11 orang, itu sudah termasuk dari 5 anak sambung atau bawaan dari suami. Menjadi wanita tangguh tidak hanya terlihat dari profesinya selama ini, melainkan juga pada kehidupan sehari-harinya.
foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha
Dia tak pernah membeda-bedakan mana anak kandung, yang mana anak sambung. Semua ia asuh dan dibiayai dari kecil. Hasil jerih payahnya berjualan tengkleng itulah yang membuat ke-11 anaknya tamat sekolah dari SD hingga SMA, bahkan sampai biaya menikah semua ia tanggung.
Hal itu tampak jelas dari sorot wajahnya, meskipun hanya wanita biasa nan sederhana. Paras Wulandari terlihat begitu ceria. Melayani konsumen dengan penuh tawa dan canda. Lantaran ia merasa beruntung dan bersyukur dengan apa yang telah dicapainya sampai saat ini. Apalagi sekarang setidaknya ia sudah berhasil punya tempat tinggal seadanya.