Brilio.net - Memasuki pukul lima sore, Setyanto mulai berjalan keluar dari rumahnya menuju Jl Letjend S Parman. Di pinggir jalan itu, pria yang sudah berusia 81 tahun ini menjajakan wedang bajigur. Setyanto biasa berjualan setiap hari mulai dari pukul 17.00 WIB hingga 21.00 WIB malam. Namun biasanya sebelum jam sembilan malam, bajigur sudah ludes terjual.
Setyanto merupakan pria asli Jogja. Dulunya ia sempat menjadi peternak ayam, namun karena sakit, ia kemudian berhenti. Berawal ketika bulan puasa pada tahun 2002, kampungnya mengadakan jualan pasar sore. Seluruh masyarakat kampung mengikuti momen tersebut. Setyanto dan istri memilih untuk berjualan bajigur.
Pada awalnya dia tidak pernah sama sekali membuat bajigur. Setyanto hanya mencoba membuat bajigur berdasarkan pengalamannya melihat orang lain berjualan. Lantas Setyanto dan istri memulai secara autodidak. Berawal dari panci kecil, sekarang sudah jadi baskom besar.
foto: brilio.net/Syamsu Dhuha
-
Bakso tusuk Bu Sainah, digilai banyak orang meski puluhan km dari kota Menu primadonanya adalah bakso gorengnya. Dijamin bikin lidahmu kecanduan!
-
Mencicipi kesegaran es kacang hijau legendaris Jogja, tempat jajannya Rano Karno Kuliner ini sudah berdiri sejak tahun 1950-an.
-
Kisah sukses 57 tahun Warung Empal Bu Warno, langganan Najwa Shihab sampai Lydia Kandou Sudah berdiri sejak 1967.
"Awalnya hanya dengan resep santan, kelapa muda, dan gula. Setelah melihat itu saya tiru-tiru," ucap Setyanto saat ditemui brilio.net, Rabu (28/8).
Seiring berjalannya waktu, ada rasa spesial dari wedang bajigur Setyanto. Tak hanya santan, gula, dan kelapa muda saja. Saat disinggung mengenai resep rahasia, Setyanto menuturkan semua asli berasal dari pembeli atau konsumennya selama ini. Soal resep, ia selalu terbuka pada pembeli.
"Ada pembeli yang bilang, 'Pak diberi ini pak'. Lalu saya beri. 'Diberi jahe pak', saya icip kok enak. Lalu, 'Pak beri sere', saya coba di rumah. Saya rasakan enak. Jadi sere sama jahe masuk," tutur Setyanto.
Dalam sehari berapa banyak lakunya tergantung dari volume pembuatan. Namun rata-rata dalam sehari bisa habis 70-an gelas. Biasanya sudah habis pukul 20.00 WIB. Tak terasa sekarang ia sudah memiliki banyak pelanggan, selain dari orang-orang yang tinggal dekat rumah, ada yang jauh-jauh datang dari Sleman, Prambanan. Bahkan beberapa pelanggan orang Jakarta jika ke Jogja menyempatkan mampir ke warung bajigurnya.
Soal pemberian nama, Setyanto mempelajarinya terlebih dulu. Banyak toko dan warung mempunyai nama sendiri-sendiri. Lalu ia kelompokkan terlebih dulu. Ada yang nama orang, nama tanaman, bunga, dan juga tempat.
foto: brilio.net/Syamsu Dhuha
"Saya milihnya kalau orang, nanti kalau orangnya jatuh atau berkelakuan nggak baik, nanti juga jatuh. Kalau bunga nanti layu. Nah, kalau tempat itu kan matine suwe (matinya lama). Maka saya pilih tempat. Tempatnya apa ya ini? Tempatnya Tamansari, karena di daerah Tamansari," lanjutnya.
Selama ini Setyanto hanya berjualan bajigur, tak ada camilan atau makanan ringan untuk sekadar mengganjal perut. Itu merupakan siasat tersendiri dari Setyanto kenapa ia tidak menyediakan camilan bersama bajigurnya. Sebab apabila ada camilan, biasanya orang akan duduk lama dan hanya membeli satu gelas bajigur saja.
Sudah tujuh belas tahun Setyanto berjualan, sudah sering sekali ia dipesan orang lain. Saat ada pesanan, Setyanto selalu berangkat sendiri, menggunakan gerobak kedua yang bisa ditarik dengan sepeda motor. Selama ini ia sudah mendapatkan pesanan dari berbagai wilayah di Jogja, Bantul, bahkan hingga Sleman. Selain itu Setyanto ini dikenal menjadi langganan dari Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Setiap Pak SBY datang ke Jogja, pasti ia selalu diundang ke Istana Presiden Yogyakarta. Ia dipesan sekaligus bersama dengan gerobaknya. Awal mulanya ada karyawati dari gedung istana presiden datang ke lapak bajigur miliknya. Kemudian karyawati itu meminta bajigur Tamansari milik Setyanto untuk datang.
"Masuknya ke gedung istana, diperiksa. Gerobaknya diorak-orik, cari apa gitu lhO. Dikira mungkin ada bom atau apa ndak tahu. Pokoknya untuk keamanan," tutur Setyanto.
Saat masuk, pakaian harus rapi. Tidak boleh mengenakan kaus, apalagi beralaskan sandal, harus sepatu.
"Dodolan bajigur nganggo sepatu, koyo londo (jualan bajigur pakai sepatu, seperti orang luar negeri)," ucap Setyanto sambil tertawa.
foto: brilio.net/Ivanovich Aldino
Tepatnya berapa kali ia diundang ke Gedung Agung, Setyanto sudah tidak ingat secara jelas. Terakhir di masa jabatan SBY sebelum Jokowi, Setyanto masih dipanggil ke istana presiden itu. Perasaannya saat diundang ke istana presiden biasa saja. Baginya setiap makhluk itu memiliki derajat yang sama.
"Saya itu menghadapi orang itu 'Wonge sing duwur yo tak anggep podo. Wonge seng cendek yo tak anggep podo', gitu lho. (Orang kaya atau memiliki kekuasan tinggi saya anggap sama, orang miskin juga saya anggap sama). Jadi tidak ada perasaan deg-degan, biasa saja. Bangga juga tidak," kata Setyanto.
Dari usahanya selama ini, Setyanto sudah berhasil membiayai ketiga anaknya hingga lulus D3 semua. Tiga anaknya kemudian melanjutkan sekolah lebih tinggi dengan usaha mereka masing-masing.
Melihat ketenaran dari wedang bajigurnya, Setyanto tak pernah berharap ada anaknya yang akan meneruskan usahanya itu. Dalam mendidik anak-anaknya, Setyanto pun membebaskan mereka untuk memilih apa yang mereka senangi.
"Tidak usah melu bapak, melu-melu profesi itu tidak dapat diikuti. Tidak dapat diwariskan. Cari sendiri, pekerjaanmu apa. Jadi tidak jualan bajigur begini, nggak. Meskipun resepnya ampuh, tapi nggak jualan bajigur. Profesi tidak dapat diwariskan, menurut saya," tutupnya.