Brilio.net - Sabtu pagi yang cerah dipadu wangi roti yang menghampiri, rasanya bikin semangat menikmati akhir pekan. Tentu rasa lapar juga muncul seketika, kan? Kondisi ini persis ketika brilio.net menyusuri sebuah jalan di Kotagede, Yogyakarta. Aroma semerbak roti seakan melambai menuntun langkah kaki menuju tempat pembuatannya.
Kami menemui Pak Bas dan Bu Gidah, pasangan kakek-nenek yang dikenal sebagai pengrajin roti kembang waru tertua di Kotagede. Usut punya usut, Pak Bas dan Bu Gidah sudah menggeluti bisnis roti kembang waru sejak 1983, lho.
-
Kuta Gede Zaman boleh mengubah napas Kuta Gede, tetapi tidak riwayatnya.
-
Kisah dibalik makanan legendaris Yogyakarta, Jadah Tempe Mbah Carik suguhan favorit Sultan Di balik nama Jadah Tempe Mbah Carik ini tak lepas dari ide istri Sultan Hamengkubuwana IX, Kanjeng Ratu Ayu Hastungkara.
-
Go Tik Swan, maestro Batik yang lebih Jawa dari orang Jawa (1) Dia juga ahli keris, pintar menari, dan mendermakan arca purbakala langka untuk pemerintah. Dianggap tidak waras oleh mamanya.
Kisah dibalik makanan legendaris Yogyakarta, Jadah Tempe Mbah Carik suguhan favorit Sultan
Eksistensi roti kembang waru tidak lepas dari perjalanan sejarah di Indonesia, terutama kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta. Menurut cerita Pak Bas, dulu pohon kembang waru tumbuh di dekat pasar dan keraton kerajaan Mataram. Uniknya, pohon ini hanya berbunga, bukan berbuah seperti pohon lain. Walau tidak dapat dijadikan bahan bangunan, tapi kayu dari pohon kembang waru banyak dibuat jadi bakiak atau teklek. Akhirnya kembang waru jadi inspirasi bentuk dan filosofi dari roti kembang waru ini.
Kembang waru umumnya memiliki 8 kelopak bunga yang juga diterapkan sebagai bentuk roti kembang waru. Makna di balik jumlah kelopak bunga ini yaitu ibarat "hasto broto". Dilansir dari laman budaya.jogjaprov.go.id, hasto broto berasal dari Bahasa Jawa yang berarti delapan laku atau watak baik yang ada di dunia. Delapan watak tersebut digambarkan sebagai elemen seperti matahari, bulan, bintang, mega (awan), tirta (air), kismo (tanah), samudra, dan maruto (angin).
Roti kembang waru pun menjadi hidangan andalan kerabat keraton untuk disajikan pada momen hajatan seperti mitoni, manten, dan lainnya. Nenek moyang Pak Bas menjadi salah satu pengrajin roti kembang waru hingga diwariskan pada Pak Bas dan Bu Gidah sekarang.
"Bedanya kalau dulu ada orang membutuhkan roti kembang waru itu pembuatnya diboyong, dibawa. Nanti bikinnya di tempat orang punya hajat," kata pria 78 tahun itu saat ditemui brilio.net beberapa waktu lalu, Sabtu (9/9).
Sementara Pak Bas dan Bu Gidah punya cara dagang berbeda dengan leluhurnya. Mereka memilih berjualan dari rumah saja, sehingga jika ada konsumen ingin mendapatkan roti kembang waru, harus datang ke lokasi secara langsung. Lokasinya di Bumen KG III/452, RT 23 RW 06, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta.
"Ada orang ngira ini toko besar. Padahal bukan toko, saya pengrajin rumah tangga. Ini rumah tangga sendiri jadi non stop, tiap malam kami tutup pintunya. Tapi kalau ada orang yang membutuhkan roti, kami beri dengan baik," ucap pemilik nama lengkap Basiran Basis Hargito ini.
foto: brilio.net/shahfara
Romantisme Pak Bas dan Bu Gidah melestarikan roti kembang waru
Romantisme Pak Bas dan Bu Gidah melestarikan roti kembang waru.
Sejak 40 tahun lalu, Pak Bas dan Bu Gidah membuat dagangan roti kembang waru ini hanya berdua. Kesetiaan suami-istri merajut bahtera rumah tangga yang harmonis sembari konsisten menjalankan bisnis roti kembang waru ini, sudah pasti dapat dijadikan inspirasi buat siapa pun.
Rahasia romantisme Pak Bas dan Bu Gidah sembari menjalankan bisnis roti kembang waru, rupanya didapat dari komunikasi serta kerjasama yang selalu baik, sehingga tak pernah mengalami kendala berarti sejak puluhan tahun silam. Pak Bas pun menuturkan, menjalani kehidupan berumah tangga, apalagi sambil berbisnis, kuncinya harus dinikmati.
"Orang yang bahagia itu orang yang bisa menikmati hidupnya," ungkap Pak Bas.
foto: brilio.net/shahfara
Menjaga kualitas roti kembang waru dari rumah.
Pak Bas menegaskan, ia dan sang istri tak memilih menitipkan dagangan rotinya ke warung-warung. Bukan tanpa alasan, tapi mereka ingin menjaga kualitas roti kembang waru agar kondisinya tetap baik dan fresh hingga mendarat ke tangan konsumen. Hal ini pun menjadi daya tarik roti kembang waru, agar bisa mendapat banyak konsumen dari berbagai daerah lain di luar Yogyakarta, seperti Bandung, Jakarta, Semarang, Bogor, Surabaya, Bangka, atau bahkan mancanegara.
Pak Bas dan Bu Gidah biasa membuka bisnisnya mulai jam 8 pagi hingga 8 malam. Tetapi, jika ada pelanggan yang membutuhkan roti kembang waru di luar waktu tersebut, mereka mengaku siap melayani. Sesekali, Pak Bas dan Bu Gidah pun kedatangan pembeli saat masih pagi buta, baik jam 3 maupun 4 pagi.
foto: brilio.net/shahfara
Saking legendarisnya roti ini, Pak Bas dan Bu Gidah juga mempunyai banyak pelanggan setia yang rutin membeli dagangannya. Salah satunya ada Darwanto, salah seorang abdi dalem atau pegawai di Kraton Jogja.
Pria ini mengaku hampir setiap hari datang ke tempat Pak Bas dan Bu Gidah untuk membeli beberapa bungkus roti kembang waru. Selain karena senang dengan cita rasa roti kembang waru, ia mengaku bangga lantaran masih ada camilan yang lekat dengan catatan sejarah kerajaan Mataram Islam di Jogja.
"Ciri khas Mataram ini, roti seng asli Kotagede yo iki (Ciri khas Mataram ini, roti yang asli Kotagede ya ini)," ujarnya sembari terkekeh.
Setia menggunakan peralatan tradisional selama puluhan tahun.
Sedari awal memutuskan menjual roti kembang waru hingga sekarang, Pak Bas dan Bu Gidah sepakat tetap setia menggunakan alat masak tradisional, lho. Alih-alih menggunakan oven listrik maupun tangkring, roti kembang waru masih dipanggang dengan bahan bakar arang di atas tungku besi dan batu bata.
Proses pembuatan roti kembang waru yang masih sangat klasik ini dipercaya menghasilkan cita rasa roti yang autentik. Di sisi lain, banyak pula pembeli yang doyan menonton proses pembuatannya yang berbeda dari yang lain, apalagi di kalangan turis asing.
Selain itu, Bu Gidah pun mengaku lebih senang membuat roti kembang waru dengan alat tradisional karena tak terbiasa mengaplikasikan oven yang lebih modern.
"Saya suka pakai arang, soalnya takut (kalau pakai oven)," ujar wanita 71 tahun ini sambil mengatur letak loyang berisi adonan roti kembang waru buatannya.
foto: brilio.net/shahfara
Biasanya, Pak Bas serta Bu Gidah dapat membuat 15 sampai 30 adonan roti kembang waru setiap kloter memanggang. Sementara jika dijumlahkan dalam sehari, mereka bisa membuat 75 hingga 105 loyang roti kembang waru. Namun, jumlah ini dapat berubah sewaktu-waktu sesuai kebutuhan pelanggan.
Selain itu, ada kalanya adonan roti kembang waru yang sedang dipanggang oleh Pak Bas dan Bu Gidah gosong, lho. Pasalnya, proses memanggang dengan alat tradisional ini membutuhkan fokus cenderung tinggi karena suhu panasnya tak bisa diatur secara manual seperti oven modern.
foto: brilio.net/shahfara
Keberlanjutan bisnis roti kembang waru Pak Bas dan Bu Gidah.
Roti kembang waru yang dijual oleh Pak Bas dan Bu Gidah diketahui sudah tak menggunakan resep yang sama persis dengan buatan nenek moyang. Tetapi, meskipun beda resep, Pak Bas dan Bu Gidah selalu berusaha menghasilkan cita rasa roti agar tetap sama dengan aslinya.
Jika dulunya adonan roti kembang waru masih dibuat dari tepung ketan dan telur ayam kampung, sekarang roti ini memanfaatkan tepung terigu dan telur ayam biasa. Roti kembang waru identik dengan tekstur yang cukup padat serta rasa sedikit manis. Dari kombinasi tekstur dan rasa roti kembang waru, tampaknya camilan ini cocok disantap bareng minuman hangat baik susu, teh, ataupun kopi. Hidangan ini juga beraroma nikmat, terutama saat baru keluar dari panggangan yang bikin perut seketika lapar saat menghirup wanginya.
Resep roti kembang waru juga dipelajari oleh sang anak. Pak Bas dan Bu Gidah diketahui punya dua anak laki-laki, yang satu menggeluti bidang seni, sementara satu lagi memilih terjun ke bisnis roti kembang waru seperti orang tuanya.
Bisnis roti kembang waru milik anak Pak Bas dan Bu Gidah diketahui menerapkan cara pembuatan yang lebih modern, yakni oven listrik. Di samping itu, sang anak juga menjual roti kembang waru di warung-warung, bukan hanya dari rumah seperti Pak Bas dan Bu Gidah.
foto: brilio.net/shahfara
Tetap pertahankan roti kembang waru meski menghadapi pasang-surut bisnis kuliner.
Seperti kebanyakan bisnis kuliner lain, Pak Bas dan Bu Gidah juga harus tutup sementara saat pandemi Covid-19 pada 2020 lalu, selama kurang lebih 3 tahun. Saat libur berjualan, Bu Gidah mengaku masih bisa bersyukur karena ada pihak-pihak di kampung sekitar rumahnya yang selalu membagikan bahan makanan setiap pagi dan sore.
"Glundang-glundung (tidak ada kerjaan) aja, mbak," cetus Bu Gidah disusul gelak tawanya yang renyah.
Usai aktivitas perekonomian normal pasca pandemi, roti kembang waru akhirnya mulai aktif lagi di 2022 lalu dan tak mendapat kesulitan mencari pelanggan meskipun bisnis ini sempat tutup cukup lama.
foto: brilio.net/shahfara
Soal keuntungan yang didapat dari penjualan roti kembang waru, Pak Bas dan Bu Gidah mengaku selalu dapat untung yang berbeda-beda setiap bulannya. Namun, jika sedang kedatangan banyak pelanggan, mereka bisa menjual sampai 500 bungkus roti kembang waru dalam sehari, lho.
"Yang penting keperluan rumah tangga cukup, wes," kata Pak Bas.